Siapkah Indonesia Menghadapi MEA 2015 ?

Masyarakat Ekonomi Asean
Penesia - Pasar bebas Asean atau lebih dikenal dengan MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) adalah sebuah zona perdagangan bebas di tingkat Asean yang diselenggarakan untuk pembentukan pasar tunggal yang memungkinkan satu negara menjual barang dan jasa dengan mudah  ke negara lain di kawasan Asean dengan tujuan utama meningkatkan stabilitas perekonomian negara-negara anggota Asean sehingga memiliki daya saing yang tinggi di tingkat yang lebih tinggi (Asia Fasifik dan tingkat Dunia). Pembentukan MEA berawal dari ide para pemimpin Asean yang dibahas pada Konverensi Tingkat Tinggi (KTT) Asean pada Tahun 1997 di Kualalumpur yang kemudian pada KTT selanjutnya di Bali Oktober 2003 para petinggi Asean mendeklarasikan pelekasanaan MEA pada akhir tahun 2015.

Masyarakat Ekonomi Asean tidak saja membuka keran arus masuk barang dan jasa, melainkan merupakan pasar tenaga profesional seperti pengacara, dokter, petugas medis, akuntan dan lain-lain. Dengan demikian persaingan antara negara anggota akan semakin kompetitif dalam menyiapkan kebutuhan tenaga profesional ini,  yang tentu saja memicu peningkatanan kwalitas dalam mensejajarkan diri dengan negara Tiongkok, Korea Selatan dan Jepang yang sudang leading dalam ketersediaan tenaga yang dibutuhkan oleh bursa tenaga kerja profesional di kawasan Asia. Itulah salah satu tujuan adanya MEA agar lebih siap berkompetisi di kawasan yang lebih luas (ASIA) dengan negara Tiongkok, Korea dan Jepang yang selama ini menjadi pemegang rangking utama dalam mensuplai tenaga terampil dan profesional di bidang masing-masing. 

Bagaimana Kesiapan Indonesia dalam menghadapi MEA ?

Adanya MEA bagi Indonesia bukan saja menjadi harapan tetapi juga adalah tantangan atau mungkin juga menimbulkan rasa cenas dan waswas. Harapan jelas, seperti negara anggota lainnya MEA diharapkan menjadi media untuk meningkatkan tarap hidup (kesejahteraan masyarakat negara masing-masing). Sedangkan tantangan ini mampukah kita menaklukannya. Dan jika tidak malah kita akan semakin terpuruk karena sama sekali tidak siap dalam menyikapinya. Dengan derasnya masuk berbagai produk dari sesama negara Asean akan semakin bertumpuk produk di pasar lokal yang selama ini sudah dijejali oleh produk dari Tiongkok, Jepang dan Korea. Yang jadi masalah adalah adakah produk lokal yang bisa bersaing dengan produk negara tetangga dari aspek harga maupun kwalitas, padahal selama ini kita sama sekali tidak bisa bersaing dengan produk impor terutama dari negara Tiongkok yang menyediakan produk-produk murah tapi berkwalitas dengan sejumlah inovasinya. 

Tidak menjadi lebih sederhana memang. Malah akan semakin rumit manakala kita belum berbuat apa-apa untuk menyambut MEA yang sudah di depan mata ini. Sistem regulasi belum jelas, infrastruktur penunjang masih perlu perbaikan, Sumber Daya Manusia sebagai pelaku belum tahu apa-apa karena tidak ada program khusus dalam penyiapan sumber daya ini.  Belum lagi sosialisasi pelaksanaan MEA masih belum optimal sehingga banyak masyarakat yang belum tahu adanya MEA ini, karena baru di publikasikan oleh beberapa media elektronik dengan durasi iklan yang hanya sedikit.

Ketika produk dalam negeri kurang bisa bersaing dengan produk impor di pasar lokal apalagi di pasar Asean (di luar Indonesia), yang tadinya dicanangkan untuk mendulang devisa alhasil devisa kita akan tersedot oleh negara lain sesama anggota karena produk mereka lebih laku sementara produk kita kurang laku di pasar lokal sekalipun. Konsumen tetap konsumen mereka hanya membeli produk yang lebih murah tapi berkwalitas. 

Dari aspek ketersediaan tenaga terampil dan profesional akan sedikit mengalami kendala, karena ada beberapa kelemahan yang dimiliki oleh tenaga kita salah satunya adalah  masaiah lemahnya pemahaman bahasa asing (Inggeris) dibanding dengan tenaga kerja asal negara Malaysia, Singapura dan Filipina yang memang menjadikan Bahasa Inggeris menjadi bahasa utama kedua di negara tersebut bahkan di Singpura bahasa Inggeris lebih banyak digunakan sebagai bahasa komunikasi, padahal dengan adanya MEA penggunaan bahasa ini akan intensiv sebagai bahasa komunikasi utama dalam berbisnis.  Kelemahan daya saing lain bagi tenaga kerja kita adalah tingkat pendidikannya masih kalah bersaing dengan negara Malaysia, Thailand dan Singapura, dimana jumlah lulusan SMP masih lebih besar yaitu 64 % dari total pekerja 118 juta jiwa atau sebesar 76,4 juta orang menurut data tahun 2014.

Dalam menyikapi permasalahan tenaga kerja profesional untuk bursa kerja MEA ini, seorang pejabat kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengatakan bahwa kita akan mengantisifasi persaingan ini dengan memperketat persyaratan. Jadi buka tidak asal buka. Bebas tidak asal bebas.”katanya (sebagaimana ditulis pada sebuah media online).  Tapi apa yang disampaikan oleh pejabat teras dilingkungan Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi ini kurang jelas dan tidak relevan, karena ketika kita menerapkan strategi pengetatan syarat selain akan menimbulkan diskriminasi bagi tenaga kerja asing yang akan memicu protes  dari sesama negara anggota MEA malah nantinya tenaga kerja kita yang semakin sulit bersaing dengan metoda pengetatan itu karena merekapun akan mengalami kesulitan memenuhi syarat yang ditetapkan. Ada yang menyebutkan penguasaan bahasa Indonesia akan dijadikan persyaratan dalam penerimaan tenaga asing di Indonesia. Saya kira cara ini tidak akan berhasil karena saya yakin mereka tidak bodoh pasti sudah menyiapkan tenaga profesional yang fasih berbahasa Indonesia. Jadi strategi apalagi?

Langkah Strategis Yang Harus Disiapkan

MEA bukan saja telah menyita energi segenap stake holder, melainkan telah menjadi isu strategis yang menjadi perhatian publik. Ketika kita salah dalam menyikapinya, yang tadinya menjadi harapan akan sirna seketika menjadi bumerang bagi perekonomian kita. Kebijakan strategis pun harus kita siapkan sebelum bergulirnya MEA akhir tahun ini. Kebijakan macam apa hanya para ahli dan pengambil kebijakan yang lebih tahu persisnya.

Dengan waktu tersisa hanya kurang dari satu semester memang bukan waktu yang cukup untuk menyiapkan berbagai kekurangan yang ada dalam rangka persiapan MEA. Tapi seperti kata pepatah latin “Nunc aut nunguam” sekarang atau tidak sama sekali. Tidak ada kata terlambat untuk berbenah. Infrastruktur ekonomi masih banyak yang menunggu untuk segera diperbaiki. Sistem regulasi yang masih sumir perlu dibuat secara jelas dan segera jika sudah agar secepatnya  disosialisasikan karena semua komponen bangsa dalam kontek MEA adalah pelakunya maka segala aspek yang berkaitan dengan sistem regulasi ini mereka wajib tahu. 

Sistem produksi harus ditinjau ulang dari mulai perijinan hingga aspek peningkatan kwalitas produksi melalui pembinaan oleh instansi terkait terutama Usaha Kecil dan Mikro (UKM) sebagai pelaku usaha yang diharapkan akan menyumbang kontribusi dalam menyiapkan produk yang memiliki added value yang tentu saja laku dijual. UKM yang paling bisa bersaing adalah pelaku industri kreatif terutama yang memproduksi handycraft atau UKM yang menghasilkan produk khas yang tidak dihasilkan oleh negara anggota MEA.  Menurut catatan nilai ekspor produk kerajinan  ke negara-negara ASEAN dalam kurun lima tahun terakhir mengalami peningkatan secara signifikan yaitu sebesar 14,11 % dengan nilai US$ 27,8 juta pada tahun 2014.

Untuk menyikapi adanya arus modal besar yang akan masuk (sebagai investasi) perlu secara khusus menyiapkan model (blue print) yang baik terutama dalam masalah perijinan di tingkat daerah untuk kegiatan industri yang selama ini masih belum memenuhi standar kenyamanan bagi para investor maupun para pihak terkait, hal ini diindikasikan sering terjadinya konplik kepentingan diantara mereka. Sebagai contoh dalam masalah penerbitan ijin prinsip sering memicu terjadinya protes berbagai pihak sebagai akibat tidak jelasnya kebijakan yang diterapkan.

Kerangka kebijakan seperti apa yang disiapkan dalam rangka menghadapi MEA kalangan pengusaha masih menunggu karena ketika mulai bergulir kompetisi perdagangan akan ramai, persaingan diperkirakan akan semakin kompetitif dan mudah-mudahan para praktisi ekonomi kita bisa lebih berperan untuk menjadi tuan rumah di negaranya sendiri yang nantinya menjadi harapan semua komponen bangsa agar adanya MEA ini menjadi titik masuk (entry poin) menuju tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. (Asep Karyono 94%)

0 Response to "Siapkah Indonesia Menghadapi MEA 2015 ?"

Posting Komentar